Menu Close

Sepak Bola dan Politik, Bisakah Dipisahkan?

Dalam konteks yang lebih luas, olahraga memang menjadi salah satu alat diplomasi yang ampuh. Setidaknya, ada tujuh fungsi olahraga dalam diplomasi.

Tujuh fungsi itu adalah memberikan ruang dialog informal bagi para pemimpin negara, memberikan gambaran atas negara penyelenggara, menjadi jembatan kultural antar negara, membentuk platform untuk perjanjian internasional, meningkatkan hubungan internasional melalui duta olahraga, menaikkan citra negara penyelenggara, dan bisa menjadi jalan bagi negara baru untuk mendapat pengakuan.

Tak ayal, pertanyaan ini sulit untuk dijawab dengan pasti. Di satu sisi, tentu ideal jika melihat olahraga, dalam konteks ini sepak bola, bisa ”suci” dari segala kepentingan politik. Olahraga, yang mengandung nilai-nilai mulia seperti sportivitas, tampak bertolak belakang dengan politik yang acap dihiasi dengan intrik.

Namun, di sisi lain, bisa dibilang sepak bola memang berpotensi menghipnotis miliaran manusia di dunia. Olahraga ini pernah memantik eskalasi ketegangan, bahkan perang dua negara. Lihat saja Perang Seratus Jam (100 Hour War) antara El Salvador dan Honduras. Drama yang terjadi kedua negara ini berlanjut 98 jam lebih lama dari tiupan peluit wasit di lapangan hijau.

 

Perang Akibat Sepak Bola
Saat itu, ketegangan kedua negara memang di titik puncak. Baik Honduras maupun El Salvador sama-sama haus akan kemenangan untuk unjuk gigi dalam Piala Dunia 1970 di Meksiko. Bagi negara dengan warga yang ”gila” bola, Piala Dunia adalah soal hidup dan mati.

Pertandingan laga pertama dimainkan di Honduras pada 8 Juni 1969. Sebagai ”dukungan” terhadap tim nasional, para fans berkumpul di depan penginapan tim El Salvador dan membuat keributan sepanjang malam. Hal ini pun berbuah manis ketika Honduras yang berhasil mengalahkan tim El Salvador yang kurang istirahat.

Kekalahan El Salvador ini memicu reaksi yang keras dari dalam negeri. Situasi makin memanas ketika taktik serupa dilancarkan oleh fans El Salvador kepada tim Honduras pada laga kedua. Honduras yang lelah fisik dan mental pun dilibas oleh tim tuan rumah dengan tiga gol tak berbalas. Puncaknya, kedua tim bertemu pada babak knock-off di Mexico City dengan hasil 3-2 untuk El-Salvador.

Tak lama setelah pertandingan di Mexico City, El Salvador memutus semua hubungan diplomatik dengan Honduras. Ternyata, dalam rentang sepuluh hari antara pertandingan di El Salvador dan Mexico City, belasan ribu warga keturunan El Salvador yang telah lama mengadu nasib dan bermukim di Honduras mengalami berbagai tindak kekerasan dan pembunuhan hingga memaksa mereka yang selamat untuk kembali ke negara asalnya.

Sekitar dua minggu berselang, El Salvador pun melancarkan serangan udara ke Honduras. Serangan ini menghancurkan Pangkalan Udara AU Honduras, Toncontin Airport. Hanya berselang dua hari, Honduras pun mengganjar El Salvador dengan menghancurkan Pangkalan Udara Ilopango melalui serangan udara.

Pertempuran terus berlangsung selama lima hari, 14-18 Juli 1969, hingga akhirnya organisasi negara Amerika (OAS) melakukan intervensi hingga kedua negara sepakat untuk melakukan gencatan senjata.

Memang, ketegangan antara El Salvador dan Honduras ini bukan semata karena pertandingan sepak bola. Sebelum memanas dan pecah, persoalan sudah mulai muncul melalui serangkaian peristiwa politik seperti kudeta dan kediktatoran Oswaldo Lopez Arellano di Honduras dan persoalan lahan di El Salvador. Namun, perseteruan di lapangan hijau ini menjadi pelatuk yang memantik api konflik.

Sepak Bola untuk Perdamaian
Di lain kesempatan, sepak bola juga bisa membawa perdamaian. Momen magis ini sempat terjadi di Pantai Gading, Afrika Barat. Saat itu, Didier Drogba, seorang striker, legendaris Pantai Gading dan klub Inggris Chelsea, berhasil membawa timnya menuju Piala Dunia 2006. Namun, mimpi Drogba dan tim nyaris kandas akibat negaranya yang terlilit perang saudara sejak 2002.

Dalam sebuah konferensi pers, Drogba mengajak rekan setimnya untuk memohon kepada para pihak yang berseteru untuk paling tidak berdamai sejenak. Pihak militer dan pemberontak yang tersentuh pun sepakat untuk melakukan gencatan senjata.

Meskipun akhirnya gencatan senjata berakhir dan perang berlanjut, apa yang dilakukan oleh Drogba dan tim menunjukkan bahwa negara yang cerai-berai pun bisa bersatu melalui sepak bola.

Sekitar seabad sebelumnya, peristiwa serupa juga sempat terjadi di tengah kecamuk Perang Dunia. Salah satu contoh diplomasi sepak bola yang paling terkenal adalah pertandingan antara tentara Jerman dan Inggris selama gencatan senjata Natal 1914.

Selama Perang Dunia Pertama, tentara dari kedua belah pihak bertemu di tanah tak bertuan (no man’s land), bertukar hadiah dan bermain sepak bola bersama. Peristiwa ini adalah momen kemanusiaan dan solidaritas di masa perang sekaligus menunjukkan kekuatan sepak bola dalam mendinginkan perseteruan.

Peristiwa-peristiwa sejarah di atas menunjukkan, sepak bola agaknya sulit untuk benar-benar dilepaskan dari soal politik. Sama halnya dengan apa yang terjadi dengan Indonesia dan Piala Dunia U-20 lalu. Posisi politik luar negeri Indonesia hingga kini tegas menolak kekerasan dan politik apartheid Israel perlu untuk terus dipertahankan.

Namun, menjadi konsisten dalam lanskap hubungan internasional bukanlah perkara mudah. Sebagai contohnya, perwakilan Knesset atau parlemen Israel sempat datang ke Indonesia dalam acara Sidang Umum Persatuan Parlemen Dunia (Inter-Parliamentary Union/IPU).

Tak hanya itu, atlet voli pantai dari Israel juga hingga kini masih direncanakan untuk tetap bertanding dalam World Beach Game yang akan diselenggarakan di Bali pada Agustus mendatang.

Inkonsistensi inilah kemudian yang bisa jadi memicu reaksi dari publik. Apabila memang sikap Indonesia tegas dan rigid dalam hal penjajahan Israel atas Palestina, sikap ini perlu ditunjukkan secara konsisten. Meskipun, ada harga yang mungkin harus dibayar untuk bisa mempertahankan sikap tersebut.

Atau, tak menutup kemungkinan juga bagi Indonesia untuk kemudian mengubah sikap politiknya. Nyatanya, kini negara-negara di jazirah Arab pun mulai menormalisasi hubungan dengan Israel yang selama lebih dari enam dekade dianggap sebagai musuh bebuyutan. Tak ayal, peristiwa gagalnya perhelatan U-20 lmenjadi momen reflektif, tak hanya bagi dunia olahraga melainkan juga politik luar negeri Indonesia. (Kompas)

Rumput Stadion I Wayan Dipta berstandar FIFA dan perbaikan di beberapa bagian areal stadion masih tetap dilanjutkan walaupun penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia dibatalkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *